Dilans Gelar InclusiFest 2023


Bandung - Bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Hari Disabilitas International pada 3 Desember dan HAM International 10 Desember, masyarakat yang tergabung dalam Disabilitas dan Lansia atau DILANS, menyelenggarakan InclusiFest 2023.

Menurut Presiden Dilans Indonesia M. Farhan Helmy, festival tahunan multipihak dalam rangka sosialisasi dan advokasi isu disabilitas dan lansia serta isu terkait lainnya ke berbagai pemangku kepentingan baik nasional maupun internasional. 

Farhan berharap, kegiatan ini sebagai market place untuk mempertemukan gagasan, pembelajaran, dan berbagai aspirasi untuk melakukan kolaborasi multi-pihak dalam upaya percepatan implementasi pemenuhan hak warga Dilans.

“InclusiFest itu untuk mengukur cara mengukur komitmen Lembaga. Saya bercita-cita memenuhi “A” nanti tahun depan sudah sampai mana, nah itu diukur dan dipresetasikan,” ucap Farhan, Minggu (10/12/2023).

“Jadi pastisipan ini ada dari berbagai Lembaga pemerintah dan non pemerintah yang terkait dengan penyandang disabilitas, para aktifis, akademisi,dan media juga,” imbuhnya. 

Farhan menambahkan, dalam InclusiFest kali ini pihaknya juga melakukan kerjasama dengan sejumlah instansi maupun lembaga, baik yang langsung berurusan dengan Dilans ataupun tidak. 

“Kerjasama dilakukan untuk mempermudah bagaimana mendapatkan akses alat peraga didalam Pendidikan,” katanya.

Dalam kegiatan InclusiFest 2023 dan Peringatan Hari HAM Internasional ini, Dilans Indonesia juga memberikan apresiasi kepada sejumlah instansi, salah satunya kepada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.

Selain itu dalam InclusiFest 2023, Dilans Indonesia menyampaikan pesan kepada para pemimpin dunia, atas adanya perubahan iklim yang saat ini sedang dibahas.

Berikut Pesan Bandung kepada para Pemimpin dan Warga Dunia: Krisis Iklim, Disabilitas dan Inklusi Sosial.

Penyandang disabilitas rentan terhadap perubahan.

Keterbatasan mobilitas fisik yang semakin berkurang seiring berjalannya waktu akan diperburuk dengan krisis iklim yang berdampak akumulatif pada berbagai bencana hidrometeorologi.

Kurangnya komitmen serius terhadap Perjanjian Paris menunjukkan kurangnya empati terhadap penyandang disabilitas dan lansia, yang jumlahnya di dunia mendekati dua miliar.

Dukungan pendanaan melalui skema “kerugian dan kerusakan” bagi negara dan kelompok rentan merupakan langkah awal yang baik. Namun pelaksanaannya harus diawasi untuk memastikan manfaat langsung terhadap kelompok rentan.

Kehidupan inklusif harus menjadi cita-cita yang terus diperjuangkan, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. NO ONE LEFT BEHIND mencerminkan upaya dan harapan agar penyandang disabilitas dan lansia turut diperhitungkan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun upaya ini harus dibarengi dengan NOTHING ABOUT US WITHOUT US. Inilah dua prinsip penting yang harus menjadi landasan.

Konvensi Hak Asasi Manusia, Penyandang Disabilitas merupakan konvensi PBB yang memperjuangkan penyandang disabilitas dan lansia. Konvensi yang bertujuan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai peraturan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Hal ini kemudian menjadi landasan normatif, yang harus dijaga konsistensinya dan harus dipercepat realisasinya.

Berbagai kekurangan yang terjadi telah membatasi minat warga difabel dan lanjut usia. Kita semua bertanggung jawab untuk terus memperbaikinya. Baik aktor pemerintah maupun non-pemerintah harus menjadi garda terdepan dalam mewujudkan cita-cita tersebut.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama